Mengajari Anak Berperilaku Asertif Saat Membela Diri

Di artikel ini saya pengen cerita tentang perilaku agresif, submisif/ pasif dan asertif pada ANAK saat membela diri. As usual, I dont want to preach my parenting style to You, lhooo Gaeeees…. Karena saya pun bukan ahli parenting dan juga bukan ahli bela diri. Jadi sifatnya sharing yang selama ini kami alami dalam keluarga yaaak. Semoga bermanfaat!

Siapa yang anaknya pernah ditabok sama anak lain????? Sayaaaaaa!!!

Siapa juga yang anaknya pernah nabok temennya?

Hmmm…. Kalau nabok, anak saya nggak punya kecenderungan ini. Cumaaaaa, dia pernah ngedudukin temennya. Literally duduk di atas badan temennya. Wkwkwkwk…. Beda ya. Tapi LEBIH PARAH si. Hihihi….

Jaman saya kecil dulu, kelas 5 SD, seorang teman dekat pernah menarik kertas ulangan saya. Dan karena, belum selesai mengerjakan dan sedang khusyuk, refleks saya tabok dia. Tepat di muka. PLAAAKK!!! Anak laki-laki itu menangis. Akhirnya, memang saya dibela oleh guru dan hubungan pertemanan kami pun baik-baik saja. Namun, perasaan bersalah saya terbawa sampai sekarang.

Suami saya pun pernah melakukan hal yang 11-12 ketika kecil. Berantem, sampai tabok-tabokan. Dan dia menang. Ya iyalah, badan segede itu. Tapi kenangan itu membekas. Saya tahu persis, karena dia pernah cerita. Sejak saat itu, dia bertekad untuk tidak bertindak agresif seperti itu lagi.

Perilaku Agresif

Anak saya, seperti yang saya bilang tadi, juga bukan anak yang 100% bebas dari perilaku. Selain dulu pernah menduduki temannya, dia juga pernah menduduki kap mobil-mobilan yang sedang dikendarai sepupunya. Dalam rangka mau mengambil mobil-mobilan tersebut. Karena kap diduduki, mobil tidak bisa jalan, dan sepupunya pun menangis.

Memang, dalam kasus terakhir, secara fisik, anak saya tidak memukul atau bahkan tidak menarik mainannya. Tapi saya tetap mengategorikan sikap itu sebagai perilaku agresif, karena sudah memasuki/ mengganggu “wilayah” orang lain.

Related Post di 2018: Bayi Posesif dan Rebutan Mainan

Perilaku Submisif/ Pasif

Sementara itu, di usianya kurang lebih dua tahun, saya pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri, anak saya ditabokin anak lain. Saya dalam posisi yang jauh dari anak saya, tapi masih bisa melihat dengan jelas. Dan ibu dari si pelaku pun jauh dari posisi anak kami. Untuk ada dua orang dewasa lain yang kemudian memisahkan mereka.

Saya kemudian mendatangi Gayatri yang sedang menangis dalam kondisi kebingungan. Iya, dia tidak ketakutan, melainkan bingung. Sepertinya, dia ingin merespons tapi tidak tahu harus berbuat apa.

Perilaku submisif/ pasif, secara sederhana adalah membiarkan orang lain memasuki “wilayah”nya walaupun tidak menyukainya.

Perilaku Asertif saat Membela Diri

Perilaku Asertif berbeda dengan kedua perilaku di atas. Mengutip dari web IPEKA Integrated Christian School, “Asertif adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan pikiran, perasaan, dan keinginan secara jujur kepada orang lain tanpa merugikan orang lain.”

Jadi, saya dan suami benar-benar berpikir keras dan berusaha mengajari Si Ening untuk membela diri termasuk tetap mempertahankan kepentingannya (terutama hak dan keselamatannya) tanpa mengorbankan kepentingan ataupun keselamatan orang lain.

Berikut adalah beberapa hal yang kami lakukan, yang mulai menunjukkan progress, walaupun belum sempurna betul:

Rebutan Mainan

Suatu sore, di RTPRA dekat perumahan, Si Ening manyun karena ayunan warna hijau yang sering dia pakai, kebetulan dipakai anak lain yang seumuran. Sebut saja dia Mawar. Dia terus menerus bilang bahwa dia ingin mainan ayunan warna hijau. Dia bilangnya ke saya, tapi setengah mumbling nggak jelas.

Saya awalnya bilang, “Ayunan yang biru, kamu nggak suka?” Dia menggeleng, dan terus menerus bilang hanya mau ayunan hijau. Doooh, bocah dah. Trus saya kepikiran aja, toh ini tempat umum kan ya, siapa tahu Mawar juga mau gantian, jadi saya minta Si Ening untul NGOMONG (NEGOSIASI) ke Mawar untuk gantian. “Bilangnya baik-baik yaaa!” seru saya.

Si Ening Gaya maju perlahan, ragu-ragu dia bilang, “Mawar, aku mau ayunan hijau.” Ngomongnya agak lirih gitu. Ehhhhhh, ternyata Mawar mau doooong! Dia pindah ke ayunan biru yang ada di sebelah ayunan hijau. Case closed, Si Ening happy, Mawar pun juga happy karena ditemenin Si ening, dan mereka hidup bahagia selamanya #eh.

Karena strategi ini berhasil, anak saya jadi ketagihan gitu. Hihihi, sore berikutnya, dia gitu lagi. Tapi dengan Melati yang sedang asyik main di ayunan hijau. Ngomongnya, baik-baik, tapi lebih percaya diri.

Sayangnya, ditolak doooong! Si Melati tetap kekeuh mau yang hijau juga. Hahaha…. Dan Si Ening nyoba dua sampai tiga kali, sampai akhirnya agak frustasi. Dan mulai mau nangis.

Karena saya lihat, dia sudah berusaha mengkomunikasikan keinginannya. Akhirnya saya samperin Si Ening, dan bilang, kalau mau tetap ayunan hijau kita bisa nunggu sampai Melati pulang, sementara itu kita bisa mainan yang lain. Eh, Si Ening nyamperin Melati lagi, dan bilang, “Melati, kamu pulang aja ya….” Dan Melati tetap tidak bergeming.

Hahahaha, ngakaaaakkk!!! But, aku bangga banget si sama progress ini. Setidaknya walaupun sad ending, dan Si Ening uring-uringan jadinya, tapi setidaknya dia sudah belajar bersikap asertif.

Pukul Balas Pukul?

Saya pribadi tidak pernah untuk menyarankan anak saya untuk membalas memukul. Kalau memang khilaf memukul atau khilaf melukai anak lain, pastinya akan saya tanya alasannya dulu, dan akan menjadi her advocate. Tapi untuk menyarankan membalas memukul sebagai bentuk bela diri, saya tim NO.

Alasan tidak menyarankan balas memukul adalah:

1 . Better Problem Solving

Saya dan suami ingin membuka wawasan Si Ening, bahwa masalah TIDAK SELALU harus diselesaikan dengan kekerasan. Ada pilihan-pilihan lain dalam pemecahan masalah yang win-win solution. Saya harap, pola pikir yang demikian akan terbawa sampai dewasa nanti. Teriring doa, semoga Si Ening nggak jadi netijen yang suka bawa-bawa LPG (ngegas, wkwkwk).

2 . Menghindari Risiko Lebih Buruk

Ada risiko yang bisa jadi lebih buruk ketika anak melakukan kekerasan fisik. Jadi balik lagi ke tujuan utama, kita nggak pengen anak kita di-bully atau dipukul kan. Kalau kita mengajari anak membalas memukul, bukankah bisa jadi kita sedang mengarahkan anak ke masalah yang lebih besar. Seperti dipukul lagi (berulang), atau ditempeleng emak temennya, kan lebih parah. Tidak peduli siapa yang pertama kali memukul, kalau bonyok ya tetep bonyok.

Ingat, anak balita, belum bisa mengukur risiko yang akan dia hadapi. Dan kami, tidak selalu ada di samping mereka untuk melindunginya. Jadi mengajari mereka untuk mengambil pilihan yang lebih tidak berisiko adalah pilihan kami.

How-to-nya nanti akan dibahas di bawah.

3 . Personal belief

Tentu, masing-masing orang punya kepercayaannya masing-masing, yang menjadi sumber dari segala prinsip kehidupan. Yang ketika kita bingung, bisa kita rujuk sebagai pegangan. Demikian juga dengan saya, yang meyakini untuk lebih baik mengutamakan kasih sesuai ajaran agama. Tentu hal ini pun akan memengaruhi cara membela diri yang diajarkan kepada anak.

Berikut adalah sharing ibu lainnya, Girly Saputri: Balas Pukul atau Boleh Pukul? Yuk mampir, Nyah! Yuuuukkkk!!!

How-to : Self Defense Sederhana

Tidak mengajarkan anak untuk balas memukul, bukan berarti saya dan suami anti bela diri ya. Malah sebaliknya, kami merasa bela diri sangat perlu, agar anak bisa melakukan defense dengan lebih efektif dan efisien tanpa harus bonyok bonyok amat.

Saya dan suami berencana untuk melatih anak saya ilmu bela diri Wingchun, saat usianya lebih besar. Saat ini si belum. Selain karena kami belum menemukan tempat latihan Wingchun yang menerima anak batita, kami juga ingin melihat bagaimana perkembangan temperamen Si Ening lebih lanjut (apakah cocok Wingchun atau bela diri lain).

Sementara ini, yang saya ajarkan ke Si Ening adalah sebagai berikut:

1 . Menghindar

Saya mengajari anak untuk setidaknya mundur dan pergi menjauh jika akan dipukul. Jika dalam posisi tidak memungkinkan untuk mundur, saya mengajari memosisikan kedua tangan terentang ke depan. Posisi ini paling memungkinkan untuk menangkis apabila akan dipukul.

2 . Menolak

Saya mengajari Si Ening untuk berteriak, “NO!” saat ada yang tidak dia sukai yang dilakukan orang lain terhadap dirinya.

Ini ada success story yang sedih.

Jadi pernah suatu kali, saya kelepasan nabok pantatnya karena emosi (khilaf banget, sorry). Si Ening langsung ngangkat tangan dan bilang “No, aku nggak suka!”

Kaget, trus langsung sadar sayanya. Sedih banget, apalagi habis itu dia juga nangis, bilang kalau, “Nggak suka pukul pukul.” Sebenarnya ada sedikit rasa lega, karena dia bisa menolak sedemikian, memraktikkan apa yang kami ajari.

Tapi sedih banget, why oh why, kenapa kok saya yang jadi pelakunya. Huhuhu…. Tobat Simbok, Naaak!

3 . Mengungkapkan perasaan

Sesederhana mengungkapkan rasa sakit yang dia alami. Karena bisa jadi lo, bocah-bocah tu kalau lagi main bareng suka kelepasan. Karena mereka pun belum bisa sepenuhnya ngontrol tubuh mereka dan mengukur seberapa tenaga mereka. Jadi penting buat anak, untuk kasih notifikasi ke temannya, dengan mengungkapkan perasaan.

Sesederhana, saya kalau lagi main sama Si Ening suka nggak sengaja kejambak, ketendang, ketiban badannya habis salto atau ditusuk-tusuk pipinya. Saya juga akan bilang ke Si Ening, kalau saya merasakan sakit atau tidak suka. Ya begitulah….

Kemarin saya membaca insightnya Mbak Damar di akun IGnya Mikhadou. Buset, apa yang dia paparkan jauh lebih detail dan humanis. Bagus banget si menurut saya. Kalau teman-teman mau baca juga bisa lihat di bawah ini ya….

View this post on Instagram

A post shared by Babywrap Indonesia (@mikhadou) on

Ya, kita memang tidak bisa menjamin anak kita 100% bakal aman. Namun, sebagai orang tua kita tentu punya cara sesuai keyakinannya masing-masing. Demi keselamatan anak, dan juga perdamaian dunia #aseeeek yuk mari mengajari anak berperilaku asertif saat membela diri. Yuk, Nyaaaah? Yuuuukkk!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Hamu dan Biji Bunga Matahari, Literasi Keuangan Anak

Review ASI Booster di Alfamart / Indomaret yang Enak Banget

Storytel, Aplikasi Audiobook Bikin Baca Buku Lebih Mudah Lebih Murah