Better Worry than Sorry, But...

Minggu lalu saya bikin question box di IGS buat ibu-ibu senior untuk kasih semacam “nasehat untuk ibu baru”. Paling banyak nasehat yang diberikan itu agar, Ibu Baru terus belajar, percaya diri dan juga nggak over-reaktif terhadap sesuatu terkait bayinya.

Saya setuju si. Karena dulu jaman baru punya newborn, saya tu reaktif banget. Bahkan ada yang sampai overreaktif. Setiap ada insting, atau perasaan nggak enak, terutama tentang kesehatan anak, pasti langsung ke klinik atau malah rumah sakit.

Hal itu terjadi sampai kira-kira Gayatri umur setahunan kali ya. Pokoknya sampai dokter saya eneg mengedukasi saya tentang pertolongan pertama, tentang kapan saya harus ke dokter, kapan harus menunggu dulu, gitu gitu. Hahaha…. Kalau inget malu juga kadang.

Tapi, kan better worry than sorry ya….

Seiring bertambahnya pengetahuan dan pengalaman saya, saya makin woles dan bijaksana saat menyikapi sakitnya Gayatri.

Berikut, saya cerita aja ya, kisah-kisah reaktifnya saya. Ada yang ternyata feeling saya betul, tapi ada juga yang ZONK. Hahaha…. Semoga bisa jadi bahan pembelajaran buat para ibu baruuuuu….

Better Wory Than Sorry

Bayi Usia 4 Hari Harus Opname

Sepertinya kejadian anak saya harus dirawat inap di Perinatal saat usianya baru empat hari adalah permulaan sikap overreaktif saya.

Jadi saat Si Ening pulang ke rumah setelah persalinan, dia mengalami demam. Kalau diukur dengan termometer, demamnya tidak terlalu tinggi. Sesuai anjuran dokter, diminta skin to skin. Setelah skin to skin memang turun. Tapi nanti naik lagi suhu tubuhnya.

Saya ingat sekali kalau ketika pulang dari klinik bersalin, saya dipesankan kalau ada deman dalam seminggu pertama, harus langsung kontak ke klinik. Jadi saya intens untuk komunikasi dengan klinik.

Hari keempat, pagi hari saya datang ke klinik untuk cek. Dokter yang jaga bukan DSA yang menangani Gayatri saat baru lahir. Dia lebih fokus ke kotoran mata yang memang banyak banget keluar saat itu. Jadi saya pulang dengan pesan-pesan terkait kotoran mata bayi saya.

Di hari yang sama, saya menemukan kalau luka di tali pusat bayi saya, seperti basah dan ada nanahnya. Maka saya langsung komunikasi lagi ke klinik, untuk infokan informasi baru tadi. Oleh suster, saya langsung diminta balik ke klinik, karena kebetulan DSA anak saya praktik sorenya.

Saat saya datang, saya dipandu skin to skin lagi. Kemudian, dokter minta untuk cek darah. Saat itu, hasil tes darahnya menunjukkan infeksi (sepsis). Langsung saat itu juga dirujuk ke RS terdekat. Oleh DSA di RS, anak saya dirujuk untuk opname.

Dari pengalaman tersebut, otak saya jadi terset untuk super sensitif dengan segala perubahan yang ada di badan bayi saya. Mungkin karena dalam kasus ini, saya merasa, “Untung aja aku peka, kalau engga sepsisnya telat ketahuan.”

Bayi kena Bronkopneumonia saat Staycation

Pengalaman yang sama, terjadi ketika anak saya sudah satu tahunan lebih. Jadi ketika suami saya ikut Persiapan Keberangkatan beasiswa LPDP, saya ikut menginap di dekat asrama untuk menemani dia persiapan acara (karena dia panitia jadi datang sebelum hari H) di luar kota.

Memang saat itu anak saya sedang flu ringan (kami memang punya riwayat alergi, jadi sering pilek), tapi dia masih aktif dan ceria.

Namun tidak disangka-sangka, malam harinya Gayatri demam cukup tinggi. Saat itu saya sudah tahu, kalau demam itu normal. Jadi saya masih tenang. Nah, saya mulai tidak tenang ketika napas anak saya tersengal-sengal. Saya hitung lebih dari 50-60an napas per menit, dalam kondisi tidur. Dan ada suara seperti mengi.

Saya sendiri punya asma, jadi agak ngeh dengan tanda-tanda ini. Saya langsung kontak suami yang sedang rapat panitia di asrama untuk ke UGD. Yang saya kawatirkan bukan lagi demamnya, tapi gagal napasnya.

Di UGD, setelah ditangani, saya infokan ke dokter apa saja gejala yang dialami berdasarkan catatan yang saya buat sebelum ke RS. Dari tanda-tanda tersebut, dokter menyarankan untuk cek darah. Ternyata ada infeksi, dan dirujuk opname untuk observasi lebih lanjut.

Saya pribadi, karena sedang di luar kota, dan suami harus balik ke asrama ya memilih opname ya. Daripada kenapa-kenapa, dan saya nggak mobile.

Diagnosisnya saat itu adalah BP. Positif rawat inap. Huhuhu….

Saat itu, perawatnya kaya kagum gitu, ada ibu-ibu yang super detail bawa catatan (suhu tubuh anak dan jumlah napas per menit). Saya juga merasa wah, saya bisa mempercayai insting saya ini. Aseeeekkk, INSTING IBUUUU!!!

Tapi ternyata, tidak selalu insting saya ini bisa diandalkan. Kalau sedang kalut berbalut emosi, jarang saya bisa berpikir jernih seperti dua kejadian di atas.

Kala Emosi Memperkeruh Firasat

Cuma Pilek, dibawa ke UGD?!?!

Ini kalau saya inget lagi, sering ngakak sendiri. Jadi pernah suatu malam, saya bawa anak saya ke UGD hanya karena pilek. COMMON FLU. Beda sama BP tadi ya.

Ya, karena saking paranoidnya. Dan lagipula itu kan hari kerja, jadi saya nggak punya catatan apa-apa. Karena saya ngantor dan anak saya diasuh mama mertua. Karena saya ragu, dan gamang, akhirnya saya bawa anak saya ke UGD. Nggak tanggung-tanggung UGD RS Internasional cuyyyyy!!! Awokwokwok bener dah eike….

Saya maksa-maksa gitu dokter jaganya buat cek darah. Hahahaha…. Dooohhh, maaf ya dokter ya…. Tengah malem bawel bener, pasiennya…. Untung dokternya baik dan sabar. Susternya juga, walau cowok tapi sabaaar bener ngadepi saya yang rungsing dan anak bayi yang cranky gara-gara diambil darah.

Sayangnya kebaikan mereka berbanding terbalik sama kasir. Nangis bok, lihat bill-nya…. Hahahaha…. Mana diagnosisnya ternyata kan common flu doang! Ketawa dah, saya dan suami…. Miskin dah gara-gara overreaktif.

Bayi Cek Kebocoran Jantung

Nah, sebenarnya cerita tentang keover-reaktifan saya banyak ya, tapi kan panjang, jadi saya mau langsung cerita ke yang gong aja. Cerita tentang anak saya yang dibilang ada murmur di jantungnya.

Jadi seperti ada suara bocor/ desiran gitu. Pertama dideteksi pas usia anak saya baru beberapa hari. Hancur nggak hati bambank sebagai seorang ibu. Hancurrrrr hancuur sehancur-hancurnya. Kawatir banget.

TIGA DOKTER yang bilang begitu. Satu DSA langganan saya, dan 2 dokter lainnya. Whuuutttt. Dua dokter terakhir (satu dokter klinik anak, satu dokter RS kecil) malah langsung merujuk ke RS besar untuk echocardiogram alias pengecekan jantung lebih lanjut.

DSA langganan saya, meminta untuk sabar dulu, karena menurut beliau ada beberapa kasus murmur yang hilang dengan sendirinya, bukan karena kelainan. Toh kalaupun kelainan, ya nggak bisa ditangani langsung juga anak sekecil itu. Kurang lebihnya begitu.

Tapi namanya orang tua kalut ya. Ngebayangin, anak guwe punya kelainan jantung, ini gimana masa depannya. Dan seterusnya dan seterusnya. Kami langsung nabung buat echocardiogram (beda dengan electrocardiogram ya). Soalnya seingat saya biayanya 2-3 jutaan gitu.

Mengabaikan saran DSA langganan, pas ada duit, kami langsung ke RS Premier Bintaro, untuk ketemu Dr. dr. Najib Advani Sp.A (K), M.Med (Paed). Dokter spesialis anak konsultan bidang jantung anak. Saya tulis komplet, siapa tahu ada yang perlu. Kalau yang familiar dengan penyakit Kawazaki, mungkin pernah dengar nama beliau ya.

Asli, dokter ini beneran oke banget dah. Sabar mengedukasinya. Mana saat itu jantung kami mau rontok kan, denger pasien yang sebelum kami harus operasi jantung di usia 7 tahun. Pokoknya lutut lemes.

Tapi bersyukurnya, pas Gayatri dicek, memang murmurnya ada, tapi dari hasil echocardiogram diperkirakan tidak ada kelainan yang menetap. Perkiraan beliau, terbukti sampai sekarang. Tidak pernah ada DSA yang mendengar murmur itu lagi saat usianya 2 tahun.

Ketika akhirnya saya lapor DSA langganan, beliau hanya senyum senyum.

Kami juga senyum senyum lega si. Tapi dompetnya berdarah. Hahahaha….

Lesson learn:

  1. Kekawatiran orang tua itu wajar. Tapi ada baiknya, ketika kawatir mengedepankan logika pikir dan data daripada emosi sesaat. Sebagai orang awam apalagi ya, mendengar sesuatu yang berisiko pasti gentar, untuk itu perlu belajar untuk berkomunikasi, mendengarkan, serta jangan lupa untuk konfirmasi atau klarifikasi ke dokter jika ada yang kurang jelas.
  2. Sedia termometer di rumah dan catatan kesehatan anak.
  3. Cari dan punyai dokter/ tenaga medis yang RUM yang mau mengedukasi dan mau dihubungi untuk konsultasi. Namanya juga orang awam ya, lebih baik kita tanya langsung ke ahlinya daripada berasumsi sendiri.
  4. Terus edukasi diri sebagai orang tua.
  5. Terus berdoa dan memohon kekuatan kepada Tuhan untuk dapat selalu bijaksana.

Saya yakin banget banyak orang tua muda yang mirip-mirip saya. Soalnya Girly juga cerita begitu di artikelnya, Jadi Ibu (Jangan) Lebay.

Ada yang punya pengalaman seperti kami? Atau mau nambahin tips? Boleh yaaaa, ditunggu di komeeennn…. Salam sayang!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Hamu dan Biji Bunga Matahari, Literasi Keuangan Anak

Review ASI Booster di Alfamart / Indomaret yang Enak Banget

Storytel, Aplikasi Audiobook Bikin Baca Buku Lebih Mudah Lebih Murah