Penyebar Hoax yang Lugu

Sejak Pemilu, sepertinya kata hoax dan buzzer jadi ramai dibicarakan. Apalagi sejak Bradshaw & Howard dari Universitas Oxford merilis The Global Disinformation Order (2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation). Dalam report tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang diinventarisasi. Akhirnya, kata buzzer makin disorot, namun sayangnya dengan tendensi yang negatif.

ps. Selama saya terlibat di komunitas blogger, saya memahami bahwa, sebenarnya makna buzzer tidak hanya sekedar seperti yang dibicarakan dalam The Global Disinformation Order. Karena ada kalanya, para buzzer inipun berperan dalam penyebaran informasi yang konstruktif. Namun, dalam artikel ini, saya tidak akan membahas tentang hal itu lebih lanjut.

Diinformasi/ Hoax

Kata yang digunakan oleh Oxford dalam reportnya adalah disinformasi, alias penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain (KBBI). Secara umum disinformasi, maknanya sama dengan hoax.

Hoax bisa diartikan dengan berita yang tidak benar yang dibuat seakan-akan benar. Beda dengan gosip atau rumor ya, karena kalau gosip/ rumor beredar dengan label abu-abu, antara benar dan tidak. Sementara hoax, sengaja diformulasikan sehingga tampak meyakinkan.

Dalam report Bradshaw & Howard (2019), dinyatakan bahwa terdapat tim cyber troop (buzzer) yang bekerja di sosial media untuk membuat konten hoax dan mengamplifikasi pesan. Di Indonesia, kecenderungan tim ini ada saat masa pemilu, dan akan hilang, lalu muncul lagi pada periode berikutnya.

Saya merasakannya betul, apalagi di Facebook atau di WA Group. Duh. Namun, saya pribadi merasakan juga kalau hoax yang beredar di Indonesia TIDAK hanya tentang politik. Di dunia kesehatan dan pendidikan pun banyak. Contohnya, jaman MPASI ada hoax tentang menu tunggal WHO, lalu tentang vaksin, lalu tentang montessori ala-ala (yang setelah saya ikut workshop Montessori, saya hanya bisa membatin, “Montessori apaan tu? pada postingan ibu-ibu kekinian, dan pada diri saya di masa lalu juga, hahaha #nooffense).

Dan saya rasa ada “peranan” orang awam yang turut serta menyebarkan hoax secara lugu. Selugu orang tua baru yang dengan semangat ingin mengobarkan romantisme dan idealisme parenting.

Saya bilang lugu, karena mungkin, sebenarnya orang-orang awam tersebut sebenarnya tidak memiliki agenda apa-apa. Apalagi dibayar. Mereka hanya menyakini hoax yang mereka terima itu benar. Dan dengan bersemangat ingin memberi “pencerahan” kepada orang lain. Sehingga hoax tersebut menggelinding seperti bola salju. Makin lama makin menyebar.

Saya mungkin pernah termasuk dalam kawanan orang lugu tersebut. Atau juga teman-teman. Tapi, mari kita bahas tema ini dengan kepala adem, dan bukan saling merendahkan satu sama lain.

Orang Awam yang Mengalahkan Pakar

Saya sempat membaca artikel yang menarik di Kumparan, berjudul “Mungkinkah Buzzer Mengalahkan Kepakaran?“. Redaksi mendasarkan artikel itu pada buku The Death of Expertise, Tom Nichols.

Dalam artikel tersebut, digambarkan bahwa, banyaknya hoax yang ditulis meyakinkan dan diperdengarkan terus menerus, dengan mudah akan diyakini oleh sekelompok orang di media sosial sebagai suatu kebenaran. Dan bahkan ketika kelompok tersebut diperhadapkan pada pendapat pakar/ ahli, pendapat tersebut mental. Tak lain dan tak bukan, karena ada kecenderungan pengguna media sosial untuk menyaring informasi berdasar “kebenaran” versi mereka sendiri.

Apakah hal ini familiar? LOL.

Saya pernah ngobrol dengan Faradila, dia menunjukkan pada saya suatu bagan Three Stages of Expertise. Bagan ini sebenarnya adalah anekdot. Atau kata pembuatnya, Simon Wardley, semata-mata adalah sebuah JOKE. Tapi, sambil tertawa dan tertohok, dalam hati, saya mengakui kalau bercandaan itu banyak benarnya hahaha….

(JOKE ALLERT) Bagan Three Stages of Expertise Simon Wardley

Di zaman internet ini, dengan mudahnya, manusia mendapatkan informasi. Tak peduli seperti apa kualitas informasinya, dengan mudah pula manusia merasa di memiliki KNOWLEDGE. Padahal knowledge tanpa adanya kepakararan atau expertise, dalam bagan bercandaan di atas, akan membuat kita masuk ke dalam fase HAZARD.

Fase ini adalah fase dimana seseorang MERASA BANYAK TAHU (how much I think I know) padahal SEBENARNYA BELUM BENAR-BENAR TAHU (how much I actually know) dan parahnya lagi, seseorang dalam fase ini pun TIDAK MENYADARI BAHWA MASIH PERLU MENCARI TAHU (how much more I realise there is to know).

Hahaha, miris ya…. Untung itu cuma bercandaan. Bercandaan yang pahit. HAHAHAHAHA!

Namun, ternyata di belahan dunia yang berbeda, terdapat dua orang yang mendapatkan NOBEL untuk makalah yang sebenarnya bisa dipakai untuk mendukung bercandaan tersebut. Temuan di dunia psikologi itu disebut Dunning-Kruger Effect.

Secara sederhana, Dunning-Kruger berpendapat bahwa terdapat orang-orang yang menganggap dirinya kompeten (merasa dirinya lebih tahu/ mampu daripada orang lain), karena ketidaktahuannya. Ketika orang tersebut tidak tahu bahwa dia tidak tahu, maka dia akan menjadi percaya diri. Bahkan dia bisa merasa lebih tahu daripada orang lain (yang bisa saja sebenarnya lebih tahu).

Bagan Dunning-Kruger Effect, Sumber: Ruang Guru

Related Post: Artikel Ruang Guru tentang Dunning-Kruger Effect

Tahu apa penyebabnya? EGO.

Berkaca dari Bagan Dunning-Kruger Effect di atas, saya jadi 1) memahami bahwa orang yang tidak kompeten tapi ngeyelan dan percaya diri itu wajar, maklumi saja, dan 2) jadi introspeksi diri juga, jangan-jangan saya pun sering terkena Dunning-Kruger Effect ini saat menyampaikan opini yang di luar bidang yang saya pahami.

Berhenti Menjadi Penyebar Hoax yang Lugu

Lalu, gimana dong? Apakah sebaiknya kita jadi nggak sharing opini di sosial media karena takut informasi yang kita sampaikan itu salah?

Ya, nggak gitu juga si temen-temen. Malahan, kita yang sudah teredukasi dengan baik, atau bisa menyaring informasi dengan baik, kudu mau speak up. Supaya sosial media nggak dipenuhi dengan hoax melulu. Apalagi kalau ternyata kita memang punya kepakaran dalam bidang yang ingin kita sharingkan.

Saya sendiri juga kadang ragu-ragu kalau mau sharing. Tapi, Faradila, teman saya bilang, gapapa ragu-ragu. Kalau keraguan itu lalu mendorong kita untuk terus belajar dan mencari tahu, sebelum menyebarkan informasi. Nice insight!

Berikut adalah beberapa hal yang saya coba lakukan selama ini untuk meminimalisasi menyebarkan hoax:

1 . Mencari tahu apakah berita/ informasi itu hoax atau tidak.

Ada dua hal yang saya untuk mengecek apakah berita yang saya terima adalah hoax atau tidak. Yang pertama adalah mengecek pembuat berita.

Misalkan saya dapat berita di media sosial, pertama saya lihat adalah ekstensi URLnya. Kemudian organisasi pembuat beritanya. Kalau dari portal berita, kalau belum familiar, maka saya akan cek redaksi atau penulisnya. Kalau meragukan, misalnya menggunakan akun palsu, biasanya tidak akan saya share.

Menurut Bradshaw & Howard (2019), terdapat pola diinformasi yang dilakukan cyber corps dilihat dari tone kontennya, yaitu bersifat support ke salah satu kelompok, attack opposition, serta mendorong terjadinya perpecahan atau pengelompokan masa. Kalau satu akun konsisten melakukan hal ini, biasanya saya juga tidak akan menjadikannya rujukan.

2 . Cari Referensi

Yang kedua, adalah untuk mengecek apakah suatu informasi adalah hoax atau tidak, biasanya saya mencari referensi. Bukan hanya sekedar katanya atau kutipan.

Poin cari referensi ini, berdasarkan pengalaman saya saat memulai MPASI anak saya. Saat itu sedang banyak pro kontra terkait BLW, lalu tentang menu tunggal dan tentang menu WHO. Yang saya lakukan adalah: tentu saja konsultasi dengan DSA (pakar), kemudian membaca buku tentang BLW, dan yang terakhir saya membaca jurnal terkait MPASI WHO.

Dari pencarian referensi dasar, saya jadi menemukan bahwa banyak sekali informasi yang bias akibat kutipan yang dikutip kembali. Jadi informasinya kadang berbelok, atau rawan disalahpahami.

3 . Keluar dari Media Bubble

Pernahkah teman-teman mendengar seruan untuk unfollow akun-akun teman yang berseberangan pandangan demi kesehatan mental?

Ya, ada satu dua yang saya unfollow karena benar-benar toxic. Tapi sejujurnya, saya masih mempertahankan banyak sekali teman di sosial media maupun di dunia nyata yang memiliki perbedaan pandangan. Termasuk akun-akun pakar yang beda mahzab ya. Akun dokter yang pro BLW dengan yang kontra BLW misalnya.

Hal ini penting menurut saya, untuk memberi saya informasi pembanding. Jadi saya tidak seperti katak di dalam tempurung. Yang hanya mau mendengarkan informasi, berdasarkan kebenaran versi saya pribadi.

4 . Tidak Yakin? Berhenti di Kamu.

Tapi saya sadar juga kalau tidak semua informasi bisa saya kroscek dengan cara di atas. Banyak yang tidak bisa. Misal seperti “informasi Ring 1 tentang pemilihan menteri kabinet” yang beredar sebelum pelantikan.

Kalau memang tidak bisa dikroscek ya sudah, saya putuskan untuk berhenti di saya informasinya. Gapapa, nggak eksis. Buat apa coba si? FOMO?

Hihihi…. Duh kok jadi panjang….

Kalau temen-temen sendiri gimana biasanya? Adakah tips lain untuk bisa tidak menyebarkan hoax dan membuat sosial media jadi tempat yang lebih baik? Sharing doooong di komentar….

Tips dari Girly Saputri bisa dilihat di Tutorial Anti Hoax.

Terimakasih yaaaa…. Semoga sharing tentang hoax ini bermanfaat. Terimakasih sudah mampir, salam sayaaang!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Hamu dan Biji Bunga Matahari, Literasi Keuangan Anak

Review ASI Booster di Alfamart / Indomaret yang Enak Banget

Storytel, Aplikasi Audiobook Bikin Baca Buku Lebih Mudah Lebih Murah