Berani Bermimpi

Awatara Karya adalah nama perusahaan mungil yang dibangun suami bersama dua rekannya. Cita-citanya menjadi penyedia jasa konstruksi yang jujur, setia pada pakem teknik. Serta mampu menyejahterakan, tak hanya pemiliknya, melainkan juga pegawainya: para mandor, kenek dan juga tukang.

“Bisa kamu bayangkan bagaimana keuntungan masyarakat, jika semua proyek pemerintah dikerjakan secara efisien oleh kontraktor yang jujur?” waktu itu (calon) suami saya menambahkan. Tepat sasaran, karena saya bekerja di sektor keuangan negara jadi saya tahu betul betapa besar dampaknya bagi perekonomian secara makro.

Di pikiran saya saat itu, perusahaan ini semacam pengejawantahan Dasa Dharma Pramuka. Hehehe….

Dan awalnya perusahaan ini bukanlah impian saya.

Namun saat memahami cita-citanya, saya menjadikannya mimpi saya pribadi. Sungguh bahagia orang yang usahanya diberkati dan kemudian bisa menjadi berkat bagi orang banyak.

rapat malam

Sayangnya, walau sempat tumbuh, “bayi mungil” ini akhirnya koma karena masalah klise: kurang modal.

Angin segar, janji papa (calon mertua) untuk menyuntik dana segar, buyar, karena papa sendiri jatuh sakit. Tanpa asuransi, tanpa jaminan hari tua. Tak mungkin suami tetap mengajukan permohonan bantuan. Kurang ajar namanya.

Awatara Karya koma. Suami memutuskan pindah ke Jakarta, kembali menjadi budak korporasi. Namun impian akan Awatara Karya tidak mati. Pindah dari Jakarta, Dia mencoba apa yang pernah dimulai, sambil bekerja sebagai pegawai. Harapannya sebelum usia kami 40 tahun, usaha ini sudah dapat berdiri. Kurang dari sepuluh tahun lagi.

Tidak terlalu optimis. Namun kami siap belajar dari pengalaman masa lalu yang mengajarkan kami dua hal:

1 . Tidak grusa-grusu dalam mengambil keputusan.

Berdasar pengalaman sebelumnya: arus kas Awatara Karya kurang baik karena ada pos gaji tetap bagi ketiga founder-nya. Ada tidak ada proyek, gaji tetap dibayarkan setiap bulan. Hal itu mau tidak mau harus dilakukan, karena ketiganya full mengurus perusahaan, dan membutuhkan gaji tersebut sebagai penghidupan.

Dengan pengalaman itu, suami memutuskan untuk nyambi kerja. Tidak grusa-grusu mengambil keputusan tidak kerja sama sekali, karena bagaimanapun dapur harus tetap ngebul sambil mencari investasi terbaik. Kami tidak mau masalah keuangan pribadi kami akhirnya membebani perusahaan.

kantor jaman dulu

2 . Mempersiapkan rencana B dan tindakan jaga-jaga.

Poin kedua ini belajar dari pengalaman papa mertua. Sebagai pengusaha yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan hari tua, Suami saya harus memiliki asuransi jiwa.

Saya jadi flashback, saat pertama kali membuat profil keuangan dibantu financial advisor dari Commonwealth Bank. Saya mulai menjadi nasabah di Bank ini saat usia saya baru dua puluh. Masih muda. Belum punya tanggungan. Profil investasi saya agresif. Tanpa asuransi tambahan, karena saya bekerja dengan fasilitas jaminan kesehatan sampai mati.

Namun, profil keuangan saya dan suami saat ini berbeda. Untuk itu, kami mempertimbangkan mana skema asuransi yang tepat, terutama bagi suami yang juga tulang punggung keluarga. Pilihannya 1) asuransi konvensional dengan manfaat asuransi murni. Atau 2) skema asuransi dengan unit link yang menawarkan juga manfaat investasi.

Target dalam waktu dua tahun kami telah memiliki asuransi. Dengan demikian, jika mimpi tidak tercapai karena hal yang tidak diinginkan (amit-amit), kami telah melakukan tindakan jaga-jaga untuk melindungi keluarga secara keuangan.

mimpi

Ini mimpi kami hari ini, semoga bisa tercapai. Doakan ya!

Semoga sharing di atas bermanfaat untuk semua yang sedang mengejar impiannya! Semangaaaaaat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Hamu dan Biji Bunga Matahari, Literasi Keuangan Anak

Review ASI Booster di Alfamart / Indomaret yang Enak Banget

Storytel, Aplikasi Audiobook Bikin Baca Buku Lebih Mudah Lebih Murah