Blazer ke Daster: Menjadi Ibu Rumah Tangga
Halo, artikel tips adaptasi menjadi ibu rumah tangga ini sebenarnya sudah direquest beberapa teman dari sejak awal tahun 2019. Hehehe, namun baru saya post hari ini, kurang lebih 10 bulan setelah saya menjadi ibu rumah tangga. Pasalnya, bagaimana saya bisa memberi tips, wong saat itu pun saya sedang “meraba-raba” menjadi ibu rumah tangga. Hehehe….
Namun, ternyata proses menjadi ibu rumah tangga yang baik, pun tetap berlangsung sampai sekarang. Jadi saya tuliskan saja apa yang telah saya alami ya, semoga ada lesson learn yang bisa diambil teman-teman! :)
Disclaimer: artikel ini BUKAN kampanye menjadi ibu rumah tangga ya, hehehe, melainkan ditujukan kepada teman-teman yang memang sudah mempertimbangkan atau malah memutuskan menjadi IRT dan mencari cerita pengalaman ibu lain.
Sebelumnya perkenalkan, saya Ella. Sebelumnya bekerja di Kementerian Keuangan dari 2010. Kemudian mengajukan Cuti di Luar Tanggungan Negara untuk ikut suami selama 3 tahun. Selama menjalani masa cuti inilah saya menjadi ibu rumah tangga.
Masa Awal Adaptasi Menjadi Ibu Rumah Tangga
Jujur, saya menyadari masa peralihan ini saya jalani dengan banyak privilege. Dukungan penuh dari keluarga (moril dan materiil) benar-benar menyokong saya dan suami menjalani masa ini.
Saya menyebut “saya dan suami”, karena kebetulan masa ini BERSAMAAN juga dengan peralihan pekerjaan yang dialami oleh suami. Suami yang awalnya berwirausaha dan juga sempat menjadi konsultan, mendapat beasiswa LPDP, sehingga memilih untuk resign dari tempat kerja sebelumnya. Rencananya, Beliau mau melanjutkan usahanya sambil kuliah.
Namun, baru juga selesai Persiapan Keberangkatan LPDP, Beliau mendapat kabar kalau diterima PNS di Pemkot Surabaya. Beasiswa harus dipending, karena harus menunggu persetujuan atasan baru (sebagai PNS).
Kondisi ini benar-benar tidak kami prediksi. Karena walaupun dengan sadar mendaftarkan diri, namun sebenarnya menjadi PNS bukanlah cita-cita beliau sedari muda. Jadi antara bersyukur dan shock. Karena hal ini berarti merombak rencana-rencana kami sedari mula.
Lesson Learn: Hal ini saya ceritakan, karena menurut saya unpredictable things mungkin juga akan terjadi dalam perjalanan teman-teman saat mempersiapkan diri menjadi ibu rumah tangga. Baik yang terjadi pada diri kita sebagai istri, maupun pada suami. Saat seperti inilah dukungan dalam keluarga benar-benar akan terasa menguatkan.
Tentang Mengatur Keuangan
Karena saya cuti bersamaan dengan suami resign pada akhir bulan November 2018, saya dan suami sempat mengalami masa kami TIDAK MEMILIKI PENGHASILAN. Ditambah dengan Beliau diterima PNS, membuat allowance beasiswa yang awalnya kami perhitungkan akan diterima di Januari ditunda, seiring penunaan beasiswa.
Kurang lebih empat bulan, kami bertahan mengandalkan dana darurat dan support keluarga. Benar-benar sesuatu yang challenging, karena bisa dibilang, saat itu kami mengelola dana per bulan sebesar kurang dari 1/4 penghasilan kami sebelumnya. Seperempat ini yang harus diatur agar dapat menyukupi semua kebutuhan tanpa harus menderita-menderita amat.
Deg-degan banget, mengingat belum adanya kepastian kapan gaji suami sebagai CPNS turun. Namun, yang paling saya syukuri adalah, saat itu kami tidak memiliki hutang di bank. Sehingga tekanan keuangan kami tidak terlalu berat.
Lesson learn: Perhitungkan dana darurat, jumlah hutang dan hal-hal terkait keuangan lain saat merencanakan beralih dari working mom menjadi stay at home mom. Karena bagaimanapun hilangnya satu sumber penghasilan tentu akan mempengaruhi kondisi keuangan keluarga secara umum.
Untuk meminimalisasi pengeluaran sehari-hari, kami menghindari makan di luar. Hampir selalu kami MAKAN DI RUMAH, dan membawa bekal. Trust me, hal ini ternyata benar-benar efektif memangkas biaya makan!
Related post: Meal Prep ala Nyonyamalas: Kesalahan dan Lesson Learn
Walaupun bisa dibilang pada Maret kami sudah bisa bernapas lega, namun bukan berarti kami mengurangi kewaspadaan. Setelah kami mulai bisa beradaptasi dengan sumber penghasilan tunggal, langkah berikutnya yang kami lakukan adalah: mendaftar asuransi jiwa dengan crisis benefit (askes kami masih pakai BPJS) dan kemudian mulai mengembalikan dana darurat yang sebelumnya terpakai.
Oiya, satu lagi yang saya syukuri pada saat itu adalah, saya memiliki hobi yang bisa menghasilkan uang. Walaupun tidak banyak, namun mendapatkan uang dari blog ini saat “negara api menyerang” jadi hiburan tersendiri. To be honest, saya belum pernah merasa sebahagia itu menerima fee menulis dan juga adsense google. Saya jadi menyadari betapa kufurnya saya sebelumnya. Hahaha…. (tertawa miris ini, wkwkwkwk).
Lesson learn: Mempersiapkan sumber penghasilan lain yang bisa dikerjakan dari rumah juga ada baiknya. Walaupun tidak wajib ya. Saya memahami kalau kondisi/ penyebab seorang ibu menjadi ibu rumah tangga berbeda-beda. Jadi bisa jadi berbeda pula, waktu yang tersedia untuk mempersiapkan diri. Tapi apapun itu, tetap semangaaaattt!!!!
Relationship Suami Istri
Jaman saya bekerja, kami Long Distance Marriage. Saat saya menjadi ibu rumah tangga, saya pindah ke Surabaya. Yang awalnya ketemu hanya seminggu atau dua minggu sekali, jadi ketemu tiap hari.
Senang si. Tapi frekuensi berantem jadi makin sering juga wkwkwk. Sepertinya, karena masa peralihan tadi. Saya adaptasi menjadi ibu rumah tangga, sementara suami adaptasi menjadi PNS. Kami sama-sama sedang mencoba menenangkan hati paska mengubur mimpi-mimpi masa muda. Sedang sama-sama mencoba ikhlas.
Hal-hal kecil, yang biasanya kami diskusikan dengan woles, bisa jadi trigger nada bicara yang naik naik ke puncak gunung. Kadang falseto. Wkwkwkwk….
Contoh ni ya, contoh: “Pulang jam berapa, Pak? Malam ya?”, “Rasa masakannya kok asin ya?”. Hihihi, sepele kan. Tapi bisa jadi WAAAARRRRRRR!!!
Sekarang saya bisa ketawa ketiwi ceritanya, pas kejadian si rasanya senep banget ya. Kadang terlintas, “Nggak worthy ni, pengorbanan karir saya, kalau ternyata malah bikin semuanya jadi kacau.” Saya yakin pada suami pun terlintas demikian.
Saya dan suami sebenarnya, sebelumnya tidak punya masalah komunikasi yang berarti. Biasanya kalau satu lagi ngegas, yang satu bisa kalem. Dan begitu sebaliknya. Pun termasuk pasangan yang terbuka dan kalau dikusi cukup logis. Namun, pas masa awal adaptasi itu beneran semua kayanya gas pol. Ga ada logika logika, pokoknya ESMOSI. Kata suami, saya sampai MENGIGAU SAAT TIDUR. Dan ngingaunya MARAH-MARAH!!!
Astaga bener deh….
Berhubung kami mulai merasa komunikasi kami mulai nggak produktif, diskusi-diskusi mulai nggak solutif, kami memutuskan untuk ke konselor.
FYI, konseling ini memang sudah tradisi ya kalau di kami. Sebelum menikah pun kami konseling pranikah ada kali enam kali lebih. Jadi bukan sesuatu yang tabu, buat saya dan suami. Namun, hal ini bisa jadi tidak sesuai buat teman-teman, terutama kalau suaminya kurang nyaman. Harap disesuaikan ya! :)
Saat konseling ini kami jadi terbantu untuk melihat akar masalah yang kami hadapi sebenarnya. Istilahnya dari helicopter view. Nggak dari sudut pandang istri, nggak juga dari sudut pandang suami BELAKA.
Kemudian kami diminta sama-sama menentukan “boundary” yang disepakati bersama-sama. Termasuk di dalamnya, pekerjaan rumah tangga apa yang mau diprioritaskan, bagaimana saya/ suami ingin diapresiasi, dll. Detail, jadinya kami tidak saling berasumsi.
Kami pun jadi mengalokasikan waktu-waktu “bersenang-senang”. Awalnya pos ini dihindari banget, karena kami pengen hemat. Tapi setelah sadar, kami butuh rekreasi, kami jadi mengusahakannya walau ya cari alternatif yang lebih hemat. Saat kami lebih rileks, komunikasinya jadi lebih menyenangkan juga.
Rasa ikhlas menghadapi peran dan kondisi baru pun datang lebih smooth. Lebih ayem rasa di hati.
Lesson Learn: Hmmm…. apa yak? Wkwkwkwk….
Cerita berbeda tentang rasa ikhlas di hati terkait dengan peralihan peran dari ibu bekerja menjadi ibu rumah tangga juga dialami oleh teman saya, Mbak Yeni Sovia. Beliau dulunya adalah guru di sekolah anak berkebutuhan khusus. Yang mau baca ceritanya bisa ke artikel ini ya: Balada Awal Menjadi Ibu Rumah Tangga
Tentang Mengatur Waktu
Pekerjaan di kantor dan di rumah, karakteristiknya sangat berbeda ya. Kalau di kantor, lebih terasa linear. Satu selesai akan berganti ke pekerjaan lainya. Bukan berarti lebih mudah juga, namun sudah ada sistem yang membantu kita menjadi fokus pada satu task sebelum mengerjakan pekerjaan lain.
Sementara kalau di rumah seperti bentuk per (pegas) yang melingkar lingkar. Jadi kadang pekerjaan yang sudah selesai balik lagi. Seperti cuci piring, sink baru bersih, tiba-tiba ada gelas kotor datang, dst. Awalnya saya merasa agak tertekan karena pekerjaan seperti tidak pernah selesai dan saya merasa selalu dikejar-kejar waktu.
Sampai di suatu titik, bersama suami, kami menyepakati beberapa hal yang membuat saya menjadi lebih rileks dalam membagi waktu:
1 . Prioritas
Kami menyepakati pekerjaan-pekerjaan apa saja yang perlu diprioritaskan untuk dikerjakan. Seperti misalnya memasak adalah prioritas, karena kami ingin sehat sekaligus hemat. Pekerjaan yang tidak diprioritaskan adalah menyetrika, hanya pakaian kerja saja yang perlu diseterika.
Hal-hal seperti ini sebaiknya dikomunikasikan kedua belah pihak. Agar sama-sama enak dan nyaman. Kami berdua juga tidak menganut pembagian tugas yang saklek kalau di rumah. Jadi ada kalanya suami juga turut membantu pekerjaan rumah sehari-hari.
2 . Standar
Standar yang ingin dicapai dalam pekerjaan rumah itu seperti apa. Misal, definisi “rumah rapi dan nyaman” itu seperti apa. Ternyata suami hanya meminta, kamar dan ruang tengah tidak dipenuhi mainan dan pakaian berserakan. Jadi saya bisa mengatur satu ruangan tersendiri untuk Gayatri bermain dan saya menaruh pakaian.
Sederhana tapi beneran bikin saya rileks. Saya bisa fokus ke masak memasak, dimana standar suami saya agak “demanding”, suka makanan tradisional yang bumbu/ masaknya rada-rada ribet.
Dengan prioritas dan standar yang jelas, saya jadi tidak merasa terlalu tegang. Saya tidak jadi stres karena halaman tidak disapu (misal), karena memang tidak prioritas. Disapu beberapa hari sekali kalau sempat pun, suami nggak terganggu. Deseu lebih terganggu kalau saya kucelnya keterlaluan.
Jadi daripada tegang ngurusin halaman yang tidak penting (bagi kami) lebih baik kan menyempatkan diri luluran atau maskeran sekali-sekali. Badan lebih sehat, suami juga seneng lihatnya….
Poin ini saya taruh terakhir, soalnya ini poin yang saya paling struggling banget. Bisa dibilang, rumah tu masih berantakan (kalau dibandingin rumah-rumah pada umumnya). Tapi setidaknya suami uda jarang komplain si. Seiring berjalannya waktu, saya yakin bakal makin ekspert ngerjain pekerjaan rumah tangga. :)
Slow but sure aja ya Nyaaaah…. Yang penting jangan lupa bahagiaaaa!
Sekian sharingnya, kalau ada yang kurang-kurang boleh deh dicolek di komen yaaa! Sekali lagi, jangan lupa bahagiaaaaa!
Komentar
Posting Komentar