Personal Branding vs Jalani Hidup Apa Adanya
Personal branding di media sosial menjadi sesuatu yang populer akhir-akhir ini. Bagaimanapun, hal ini memang penting dan juga bermanfaat. Namun, kita pun harus sadar pada jebakan sosial yang menggoda kita untuk menciptakan citra sesuai dengan trend atau harapan orang lain. Jebakan pencitraan alih-alih berdasarkan diri kita sendiri yang otentik, malah menjadi orang lain. Padahal menurut saya, kita masih bisa menciptakan personal brand yang baik dengan showing our version of our self dengan tetap jalani hidup apa adanya, tanpa perlu menjadi palsu. Bukankah yang terbaik adalah jujur menjadi diri sendiri tanpa syarat dan ketentuan?
Personal Branding
“Personal Branding: citra/ kesan yang dibuat secara sengaja dan secara sadar dari seorang individu tentang diri mereka sendiri yang ingin mereka tegaskan dalam pikiran orang lain.”
Sebagai social media enthusiast saya mengamati ada beberapa hal yang penting, yang juga saya coba terapkan untuk membentuk personal branding di media tanpa perlu pura-pura.
Kejujuran dalam Mengekpresikan Diri
Untuk dapat jujur, kuncinya adalah mengenal diri sendiri. Kadang kita merasa banyak sekali aspek dalam kehidupan kita yang pengen kita ceritakan di media sosial. Hanya, memang sebenarnya kalau mau membuat personal brand, kita harus punya “key message” atau benang merah yang membuat orang lain fokus pada satu dua hal yang mendeskripsikan diri kita dengan baik.
Yang penting adalah ketika kita menentukan “key message” tersebut, kita nggak sedang mengarang cerita. Demikian juga ketika menerjemahkan “key message” ke postingan. Jangan pula, sedang di Kroya, dibilang sedang di Korea, sedang di Balige bilangnya di Belgia. Atau pakai tas merk “Gerimis” tapi ngetagnya merk hits “Keremes”. Demi apaaaaaahhh? Demi dibilang sultan kaya Nagita Slavina???
Memilih cerita, keep yang dirasa privacy, menggaris bawahi prestasi, menurut saya masih fair ya. Dan satu catatan lagi, key message ini memang harus konsisten, tapi bukan berarti tidak boleh berkembang seiring dinamika kehidupan kita juga.
Oiya, penting juga untuk stay true dan stay being human. Kita bukan juga Tuhan yang sempurna, jadi sah-sah saja menceritakan perjuangan up and down, showing our vulnerability. Sambat itu kan manusiawi. Tapi lebih baik lagi kalau ada lesson learn yang bisa dibagikan kepada orang lain.
Integritas
Personal branding yang tanpa pura-pura, yang hidup apa adanya, menurut saya butuh integritas. Dalam artian, apa yang kita katakan, kita tunjukkan, kita share, itu jugalah yang kita lakukan. Selaras dalam berbagai aspek, kalau jargonnya Pramuka “dalam pikiran, perkataan dan perbuatan”. Atau kalau pakai petuahnya Microsoft Office, “what followers see is what followers get”.
Jangan kaya calo bus, yang teriak teriak “Jogja Jogjaaaaaa!!!” tapi giliran busnya berangkat, dianya tetep ngetem di terminal Lebak Bulus.
Hidup Apa Adanya: Tanpa tipu-tipu
Pas saya nonton video dari Indosat Ooredo di bawah ini, ada satu slide yang menurutku cukup menggelitik. Hihihi…. Jadi ada satu slide yang tulisannya “TANPA FOLLOWER PALSU” kaya begini ni….
Video lengkapnya di sini ya….
Isu ini adalah isu HOT di kalangan para sosmed enthusiast dan juga para admin olshop, “beli follower”. Jadi beli follower demi terlihat meyakinkan bagi pembeli/ agency untuk melakukan transaksi. Beberapa pelaku pembelian follower ini (((PELAKU, uda kaya apa aja, #nooffense hehehe) berpendapat kalau membeli follower adalah salah satu langkah untuk fake it until you make it.
Saya pribadi kurang setuju si dengan beli follower. Soalnya hal tersebut berpotensi merugikan orang yang bekerja sama dengan kita. Terutama kalau follower yang dibeli ternyata hanyalah akun bot. Tanpa engagement, brand tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa dari kerjasama dengan pembeli follower kan.
Kalau strategi lain, yang mengiming-imingi orang lain untuk follow akun kita, baik itu dengan giveaway atau follow to follow back, masih bisa dimaklumi si kalau menurut saya. Setidaknya kalau dibandingkan dengan kasus beli follower tadi, strategi ini masih agak mendingan ya. Mendingan maksud saya, ini follower yang datang beneran manusia gitu loh, bukan tumbuhan. Kalau memang sesuai dengan content yang dibuat oleh creator, ada kemungkinan mereka beneran follow dan engage.
Walaupun saya tidak pernah juga melakukan strategi-strategi, dan tidak tahu seberapa jauh efektivitasnya untuk mendapatkan follower tertarget.
Oiya, saya pernah dengar di akunnya Jang Hansol – Korea Reomit kalau YouTube sudah membatasi strategi giveaway untuk menambah subscriber yak? Ada yang punya info lebih lanjut? Kalau berkenan, please tinggalin link artikel atau infonya di kolom komentar ya. Thanks in advance!
Fokus Berkarya, Don’t Overthinking
Last but not least, terkait personal branding tanpa pura-pura, yang sering jadi beban saat proses personal branding di media sosial, khususnya di Instagram adalah tentang estetika. Buat orang-orang biasa seperti saya menghasilkan foto dengan visual yang meng-capture daily life tapi sekaligus estetis memang adalah perjuangan tersendiri. Kalau lihat akunnya Ringgo tu ya, kadang suka terkesima, hihihi…. Kok bisa gitu ya, foto di rumah, pakai kaos oblong dan kegiatan sehari-hari sederhana bisa tetep menarik.
Ya memang, masalah estetika pun standarnya beragam. Ada yang benar-benar strict ke colour tone tertentu, ada yang memilih untuk post selang seling seperti papan catur. Ada yang bahkan full dedicated content, dimana semua foto di feeds adalah memang khusus difoto dan direncanakan untuk dipost di media sosial.
Saya sendiri suka mengikuti/ persona dengan akun media sosial yang kontennya lebih banyak daily life seperti @rumahduapohon, @bandungpermaculture @debrynadewi. Atau akun-akun campuran antara daily life dan dedicated content seperti @kelincitertidur @idekuhandmade @atiiit @livingloving.
But, untuk akun saya, secara isi saya lebih banyak share tentang daily life (pengalaman dan tips). Lalu untuk masalah estetika, kalau buat saya pribadi, yang menjadi kewajiban adalah foto tidak buram dan bisa mendukung cerita atau pesan yang sedang ingin saya sampaikan. Tone colour secara visual, saya tidak strict. Saya lebih menekankan keberadaan visual sebagai pendukung caption, yang mana tone bahasa dan karakteristiknya saya jaga sesuai personal branding saya: ibu muda yang santun dan tetap shantuy….
Kalau di antara teman-teman ada yang lebih bahagia dengan visual yang terjaga, keep doing a good work. Hanya masalah preferensi, dan tetaplah kita fokus berkarya di jalan ninja masing-masing. Kalaupun ada yang berpendapat lain, ingatlah nasihat ini. “Pendapat orang lain penting dipertimbangkan sebagai masukan yang mendorong kita jadi lebih baik dan produktif.” Tapi bukan tempatku hentikan langkahku, kalau kata Peterpan.
Yuk, Giatkan Media Sosial Tanpa Pura-pura #TanpaSyaratKetentuan
Tulisan ini terinspirasi dari campaign #JalaniApaAdanya yang sedang dihelat oleh IM3 Ooredoo dalam rangka merespons bagaimana media sosial jaman now yang artificial. Sebagai pengguna Indosat dari jaman masih gadis, sampai sekarang uda mau punya anak dua, tentu saja saya seneng banget bisa mendukung tema ini. Semoga makin banyak penggiat media sosial yang berani menjalani hidup apa adanya, fokus berkarya dan tunjukin diri tanpa tipu-tipu dengan dukungan @IM3Ooredoo.Karena sebuah keniscayaan kalau anak-anak saya gede nanti, mereka akan punya media sosial juga. Saya harap situasi di media sosial saat itu sudah nyaman untuk mengekspresikan diri tanpa kepura-puraan sebebas pakai paket Freedom Internet yang simple dan #TanpaSyaratKetentuan.
Komentar
Posting Komentar