Financial Abuse
Ini rada sensitif yak. Jangan dibaperin dulu sebelum kelar pembahasannya ya…. Hehehe….
Pertama-tama, buat yang belum kenal, perkenalkan, Financial Abuse. Beliau adalah suatu tindakan atau serentetan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu hubungan, agar pasangannya kehilangan kemampuan finansial atau kehilangan akses atas aset/ sumber daya finansial keluarga.
NNEDV (National Network to End Domestic Violence – Amerika Serikat) bilang kalau tindakan abusive satu ini sangatlah lembut. Kadang awalnya bisa malah tampak seperti tindakan perlindungan kepada pasangannya. Kadaaaaang lo kadang. Namun bisa juga tidak selembut itu.
Sang “korban” pun biasanya nggak ngeh atau ya sebenarnya pun akan baik-baik saja. KECUALI, jika financial abuse ini kemudian menjadikan pelaku merasa “aman” untuk melakukan tindakan abusive lain, seperti kekerasan fisik atau kekerasan verbal.
Kenapa kok merasa aman? Soalnya si korban tidak berdaya, tidak akan berani melawan, karena telah menjadi begitu bergantung (penghidupannya) kepadanya.
Sering kan dengar cerita, seorang ibu mempertahankan rumah tangga dengan suami pelaku KDRT, demi anak. Demi anaknya tetep bisa sekolah. Demi nggak jadi gelandangan. Endebrei endebrei.
Ya kira-kira begitulah kalau disederhanakan. She/ he trapped in unhealthy relationship karena rasa takut tidak dapat bertahan hidup tanpa sokongan keuangan dari pihak pelaku.
Kalau alasan bertahannya karena cinta mati, atau dengan ikhlas berharap pasangan akan taubat, atau karena komitmen, ya beda lagi bahasannya ya. Jadi, setiap keputusan selayaknya diambil memang karena punya alasan, bukan karena (merasa) tak punya pilihan. #sebuahquote
Selalukah hal itu terjadi? Ya memang tidak. Namun NNEDV lagi-lagi menyatat kalau di hampir di semua kasus kekerasan dalam rumah tangga, melibatkan financial abuse. So, saya pikir si financial abuse ini penting untuk dipahami oleh semua pihak ya. Bukan untuk ditakuti, tapi disikapi dan diantisipasi dengan bijaksana.
Biar kita nggak jadi korban, atau malah jadi pelaku.
Ini sorry bahasa saya jadi rada formal, ati-ati, nggak becandaan kaya biasanya ya. Soalnya takut salah tangkap aja. Sensitip boook, kaya test pack!!!!
Soalnya pas IG storiin topik ini, saya pernah sedikit kena “tuduh” seakan saya sedang nakut-nakutin ibu rumah tangga, dan nyuruh mereka kerja aja biar nggak di-financial-abuse-in. 😅
Ya nggak mungkin lah, saya berniat begitu.
Wong posisi saya aja ibu rumah tangga kok. Baru banget ambil unpaid leave, jadi ya nggak banget lah kalau malah saya ngomporin ibu lain untuk takut jadi ibu rumah tangga (IRT).
I’ll embrace every mom’s choice, mau jadi working mom maupun stay at home mom. Kan panggilan hidup orang beda beda ya kan….
Lagipula, semua orang tu juga berpotensi jadi korban kok, nggak cuma IRT.
Real story, ada suami yang ditodong menyerahkan semua penghasilannya sama istri. Cuma dikasih ongkos harian. Mau beli mainan aja kudu dosa. Bohong masalah harga. Dimurah-murahin, takut ketahuan beli dari duit ceperan (yang dirahasiakan). Seems familiar?
Ada juga istri, yang karena bekerja dan punya penghasilan sendiri, tidak pernah dinafkahi suami. Bahkan nggak tahu penghasilan dan aset-aset atas nama suami. Sekedar informasi asetnya aja, kagak dikasih tahu, apalagi penghuni cantiknya. Hus! Kucing maksudnya. Jangan suudzon!
Apakah di atas termasuk financial abuse? Menurut saya iya sih. Walaupun kasus yang kedua, rada abu-abu ya.
Tapi saya nggak naif jugalah. Yang paling rawan memang IRT ya. Saya pun pertama beneran aware dengan isu ini adalah saat memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.
Apakah karena saya nggak percaya pada suami makanya saya jadi insecure? Saya kawatir nanti dia KDRTin saya? Apakah saya curiga?
Mmmm, mungkin malah sebaliknya ya. Saya percaya sepenuhnya, bahwa saya menikahi orang yang baik, yaitu suami saya. Oleh karena itu saya mau menjaganya, dengan tidak memberinya peluang, menjadi orang yang jahat di kemudian hari.
Waktu bisa mengubah seseorang. Dan sebagai pasangan yang bertanggungjawab, seharusnya kami saling menjaga.
Salah satunya, dengan tetap menjadi sepadan. Terkait dengan tema financial abuse ini, berarti menjaga kesepadanan dalam akses dan kemampuan finansial.
Dengan doa lah Nyah!
Ya iya lah Zaenab, kan saya bilang salah satu. Yakali doain suami juga saya yang kudu ngajarin.
Oiya, SEPADAN itu tidak berarti saya sebagai istri dan ibu, ngotot harus SAMA-SAMA bekerja. TIDAK. Tidak juga dengan ngotot, semua penghasilan suami harus diserahkan pada saya. Ya tidak gitu juga. Itu mah tergantung kesepakatan ya. Dan tergantung juga pada panggilan hidup si istri itu sendiri.
Yang perlu digaris bawahi untuk dipertahankan, kalau menurut saya adalah 1) akses keuangan dan yang berikutnya 2) kemampuan keuangan.
1 . Menjaga Akses
Akses yang saya maksud di sini adalah akses terhadap informasi atas aset atau sumber daya yang dimiliki keluarga. SEKALIGUS juga adalah akses untuk dapat ikut mengelola sumber daya tersebut.
Kalau di keluarga kami, penerapan secara sederhananya adalah dengan saling tahu penghasilan masing-masing (saya freelance, btw), tahu arus kas bulanan, tahu kami punya aset apa dan berapa serta juga tahu kami punya utang berapa dan kepada siapa.
Cara kami sharing informasi ini adalah di “meeting” ala-ala yang sering kami lakukan. Saya pernah menuliskannya di artikel family budget meeting.
Selain itu, walaupun secara pribadi kami tetap punya privacy masing-masing. Namun dalam keuangan keluarga, kami mengedepankan keterbukaan.
Misalnya saja, saya nggak tahu password email suami saya (ini privacy si kalau saya bilang), tapi saya tahu pin ATM dan pin mobile bankingnya. Demikian juga dengan rekening saya. Lalu, Kartu Kredit kami secara fisik dipegang suami, tapi laporan bulannya masuk juga ke email saya. Jadi kami bisa saling cross check. Apa lagi ya….
Kira-kira praktisnya begitu si.
Dengan demikian, saya punya akses informasi tanpa harus menjadi monster yang over protektif terhadap penghasilan suami. Saya juga tidak jadi perempuan insecure, bukan pelaku waskat karena takut ditikung. Tapi juga bukan juga perempuan naif, pasrah pasrah aja, nggak tahu apa-apa.
Suami masih bebas-bebas aja beli sepatu futsal, misalnya. Atau beli “berlian” buat game Mobile Legendnya. Paling dia kasih notifikasi dulu, cek gimana, apakah aman buat beli bulan ini atau bulan depan aja. Sama seperti saya juga, bebas-bebas aja bayar biaya maintenance blog, misalnya, atau beli buku.
Yang penting sama-sama ngasih tahu, dan ngasih izin tanpa perlu dimintai maaf.
2 . Menjaga Kemampuan
Menjaga kemampuan finansial itu kalau buat saya, saya lakukan dengan tetap berkarya (dari rumah, karena saya nggak bekerja formal lagi).
Itulah sebabnya, saya tetap mempertahankan blog ini dan juga aktif di sosial media. Bukan tentang nominalnya ya. Tapi lebih ke menjaga skill saya tetap up to date, pikiran saya tetap terlatih dan tetap punya networking. Tiga hal tersebut, yang bisa jadi titik tolak, kalau dirasa suatu saat nanti ingin mencari penghasilan juga.
Tentu saja waktu yang saya alokasikan tidak banyak, karena pilihan yang saya ambil jadi IRT ya. Santai santai nggak terlalu ambisius gitu. Paling sejam dua jam sehari, karena anak dan pekerjaan rumah pun sudah cukup menguras tenaga. Tapi tetep saya punya garis besar haluan goals yang pengen saya capai.
Bersyukur, sekarang semua itu bisa dikerjakan dari rumah, kapanpun saya sempat, via internet. Asal ada kemauan, pasti ada jalan.
Selain itu, saya juga belajar berbisnis dengan santai serta ikut seminar/ workshop terkait minat. Supaya tidak usang.
Poin dua ini, juga harus dikomunikasikan ke pasangan ya. Memang ada tipe suami yang kemudian akan berkomentar “Buat apa sih? Kan nafkah dariku cukup.” Apalagi kalau ternyata, kemudian kitanya juga keteteran ngerjainnya.
Jelasin aja apa pentingnya dari sisi pengembangan diri atau dari sisi lain yang sekiranya suami paham. Tanpa harus melukai egonya. Tanpa juga membuat dirinya merasa dituduh. Dan buktikan juga kalau kita mampu bertanggung jawab dan mengelola waktu dengan baik.
Sejujurnya dua hal di atas (tentang menjaga akses dan menjaga kemampuan keuangan) ini juga adalah nasihat dari almarhumah mama mertua saya. Saat Beliau berpisah dari suaminya saat itu, yang membuatnya mampu untuk kemudian bangkit kembali dari keterpurukan adalah skill menjahitnya.
Yah, amit-amit kalau hal ini (perpisahan atau perceraian) sampai menimpa kita. Namun lebih amit-amit lagi kalau sampai hal tersebut terjadi, kita tidak memiliki daya apa-apa, sehingga terpuruk begitu dalam dan tak bisa bangkit lagi.
Tapi teteeeeuppp, jangan pernah mengambil keputusan HANYA karena ketakutan. Balik lagi ke #sebuahquote tadi, “Setiap keputusan selayaknya diambil memang karena punya alasan, bukan karena (merasa) tak punya pilihan.“
Semoga bahasan kali ini, makin membuat kita mawas terhadap pemberdayaan diri ya. Tak peduli kita mau milih jadi ibu rumah tangga atau ibu yang bekerja di sektor formal.
Karena apa pun yang terjadi di masa depan, memiliki DAYA dan RASA BERDAYA (yang positif) saya rasa tidak pernah ada salahnya. :)
Demi keluarga kita. Demi anak-anak juga. Dan demi diri kita sendiri.
Salam sayang!
Komentar
Posting Komentar