Rasa yang Dulu Pernah Ada

Gegara baca postingan Kresnoadi tentang permen karet. Saya jadi termanggut-manggut. Asem. Lagi-lagi ni mantan bocah kribo ini membuat saya berpikir serius pada ujung cerita, setelah terlena sama panjang guyonannya.

Kan kesel, harusnya di ending kita uda santai santai, ini malah jadi mikir.

Yang mau baca silakan ke sini ya….Yang ga mau baca ya nggak papa juga si. (Sorry Di, wkwkwk) Biar related saya mau kutip kata-kata Adi tentang ngunyah permen karet:

“Sewaktu dewasa, gue sadar kalau dengan makan permen karet, kita diingatkan bahwa semakin kita merasakan hal yang sama, berulang-ulang, berkali-kali, rasanya pasti memudar.”

Saya jadi mikir tentang pernikahan.

Pernikahan kami. Pernikahan saya dan suami maksudnya ya, bukan saya sama Kresnoadi.

Saya dan suami baru menikah selama tiga tahun kurang 14 hari. Masih seumur jagung. Tapi saya akui sebagian rasa di antara kami telah memudar. Bukan berarti sedang ada masalah di antara kita. Ya, kami tetap saling menyintai si walaupun sering berantem juga seperti yang pernah saya ceritain di Ribut Rukun.

Tapi tetep ada rasa yang dulu pernah ada, lalu sekarang memudar.

Hal-hal sepele si sebenernya….

hehehe

Misalnya nih, nggak ada lagi rasa sriwing sriwing saat saling bersentuhan tangan seperti jaman dulu pacaran.

Beeeuugghhh! Jangankan sentuhan tangan kan ya. Lihat pagar rumah gebetan jaman dulu aja rasanya jantung mau copot. Iya nggak sih? Apa saya aja yang jantungnya lemah ya? Lhah kalau sekarang, pagar rumah dia kan pagar rumah kita jugak…. Masa iya, mau copot terus.

Trus lagi, nggak ada lagi percakapan romantis bertabur senyum-senyum malu yang tulus, semacam “Kamu cantik/ tampan deh.” Kalaupun ada, yakin dah itu pasti ada maunya. Mwahahaha…. “Kamu tampan deh pak, hari ini, aku uda check out Tokopedia transferin yaaa….”

Ya gitu…. Sun sayang setiap pagi, kewajiban. Sun muah muah setiap malam, ya rutinitas. Seneng si, tapi beda rasanya.

Rasanya not so roller coaster anymore.

Buat yang uda nikah lama, mungkin nangkep ya maksud saya.

***

Tiga tahun kurang 14 hari mungkin waktu yang cukup lama untuk membuat gejolak kawula muda sedikit mereda. Namun, sebenarnya adalah waktu yang masih sangat singkat untuk sebuah pernikahan. Mengingat perjanjian setia sampai salah satu dari kami mati ini masih lama sekali.

Kalau dihitung-hitung harapan hidup manusia Indonesia sampai 60 tahunan kan berarti masih ada sekitar 30 tahun lagi. Ya, kalau beruntung sampai usia 70 tahun kan berarti 40 tahun lagi.

via GIPHY

Saya jadi ingat, dulu saat konseling pra nikah, Pak Pendeta (konselor kami) pernah memperingatkan juga tentang hal ini. Bahwa dalam pernikahan ada kalanya rasa (asmara) itu memudar. Beliau menggunakan kata “eros” sebagai kata yang menjelaskan rasa asmara itu.

Sesuatu yang normal jika eros memudar. Fisik manusia kan terus menurun. Normal-normal saja. Sesuatu yang normal juga jika eros bisa diusahakan kembali, kayak di film The Notebook itu lo.

setrong

Tapi ini penting!

Memahami kalau rasa yang dulu pernah ada itu bisa memudar, buat saya itu sesuatu yang sehat si. Biar ekspektasi kita terhadap romantisme pasangan itu ya nggak melulu tinggi.Biar nggak kecewa, kalau pasangan kadang ya lempeng-lempeng aja gitu. Ya memang normal begitu. Walaupun kalau mau diusahakan biar lebih happy ya bagus juga si….

Memahami kalau rasa yang dulu pernah ada itu bisa memudar, juga ada baiknya. Supaya ketika kita nggak merasakan sriwing-sriwing again, kita nggak trus menyimpulkan kalau sudah sampai di sini saja perjodohan kita. Karena dengan siapapun, eros normalnya ya akan memudar seiring waktu.

Jangan njuk gampang mengkambinghitamkan jodoh.

***

Saya trus bertanya pada suami yang kira-kira kalau dieksplisitkan (dengan banyak sensor biar nggak vulgar tentunya) kira-kira seperti ini,

Saya: “Kalau tua nanti eros kita memudar, njuk piye?”

Suami (sambil ngantuk): “Ya wajar…. Tapi kan tetep sayang….”

Saya: “Sayang kayak kasih sayang sama sahabat gitu ya?”

Suami: “Ya iya, tapi pasti masih ada erosnya sedikit-sedikit. Dirawat…. Lagian kalau aku dijawil jawil juga pasti pengen.”

Saya: “Kalau erosnya pindah ke orang lain?”

Suami: “Ya, nggak usah diladeni. Makanya itu namanya komitmen.”

Suami: “Komitmen, tauk…. “

Saya: -.-“

Suami: *ngorok

via GIPHY

Suami saya hidup di keluarga yang orang tuanya berpisah. Saya mengakui, pemikirannya tentang hal ini pasti jauhhhhh jauhhhh lebih dalem daripada saya. Sambil ngantuk lumayan juga pemikirannya. 1) kasih persahabatan, 2) merawat eros dan 3) komitmen. Atau mungkin karena ngantuk, jadi itu wangsit?

*mata menerawang

Tar lah, coba saya tanya lagi kalau dia sudah sadar…. :P

Semoga Tuhan memberkati keluarga kita semua dengan kasih dan juga komitmen ya! Karena kita nggak tahu apa yang ada di masa depan, entah seperti apa jadinya rasa yang dulu pernah ada….

Hmmmm….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Hamu dan Biji Bunga Matahari, Literasi Keuangan Anak

Review ASI Booster di Alfamart / Indomaret yang Enak Banget

Storytel, Aplikasi Audiobook Bikin Baca Buku Lebih Mudah Lebih Murah