Laissez-faire

Pernikahan saya dan suami, sebut saya dia Tuan Besar karena literaly memang besar, baru dua tahun. Tapi kami pernah mengalami beberapa bentuk pembagian tugas keluarga dalam manajemen rumah tangga. Aseeeeekkk (((manajemen))).

Tuan Besar sempat jadi working-at-home-husband sementara saya bekerja kantoran penuh waktu. Kami juga pernah mengalami masa-masa di mana kami berdua ngantor 8-5 bahkan lebih. Dan yang terakhir, saat ini Tuan Besar ngantor, dan saya temporary working at home.

Kami pernah punya ART paruh waktu. Pernah langganan laundry kiloan. Pernah setia pada katering harian. Pernah pula nitip anak ke daycare termahal di kawasan Bintaro (nangis kalau inget bill-nya). Dan kini, kami lepas dari semua fasilitas itu, sejak pindah ke Surabaya dua bulan lalu.

Berdasarkan berbagai pengalaman di masa lalu, kami belajar tentang karakteristik keluarga kami dan bagaimana bentuk pembagian tugas yang cocok buat kami. Bentuknya adalaaaaah: Laissez-faire. Yeeeaaahhh!!!

Laissez-faire adalah sebuah frasa bahasa Perancis yang berarti “biarkan terjadi” atau secara harafiah berarti “biarkan berbuat”. Intinya sih kalau di rumah siapa yang sempat, dialah yang akan mengerjakan. Buat orang-orang yang rapi dan teratur mungkin hal ini terdengar intimidatif ya. Tapi so far, buat kami semua berjalan baik-baik saja.

kuat

Tentu saja ada prinsip-prinsip yang dipegang si ya, biar ga berujung berantem atau jadi terbengkalai:

1 . Kesamaan pemahaman tentang arti kodrat.

Kesamaan ini yang penting antara suami dan istri sama gitu. Sama tetangga sih nggak harus sama pemahamannya gapapa. Buat kami, kodrat adalah sesuatu yang memang given di tubuh kita. Seperti misalnya menyusui adalah tugas saya sebagai ibu karena saya punya payudara, suami saya tidak. Sementara mencuci alat pumping bukanlah kodrat, tapi ini urusan manajemen dan kerelaan hati.

Kalau uda sepaham gini enak, lo. Soalnya jadi sama-sama bertanggung jawab dan juga berinisiatif. Nggak saling nuduh, “Ini kan tugas kamu!”. “Ah, kamu ni, tugas kamu jugaaak!!!!”

Krompyang! #piringdibanting

2 . Saling menghargai “me time“.

Me-time atau mengerjakan hobi sebagai kebutuhan pribadi adalah sesuatu yang penting buat kami. Urusan rumah tangga tidak lebih penting dari hobi. Ini yang berlaku buat kami lo yaaa…. Soalnya, hobi itu stress release banget. Lagipula kami nggak keterlaluan juga kok jadwalnya.

Pekerjaan rumah bisa menunggu, kesehatan jiwa lebih utama. Inget, nasihat di bak belakang truk Pantura, “Don’t to milk”. Ojo kesusu…. Hehehe, apa si saya….

Jadi kalau hari Kamis jam 10 malam, Tuan Besar uda nggak bisa diganggu gugat. Soalnya itu jam main game sama aliansinya, Marvel Future. Gitu juga kalau saya lagi “karaoke” di kamar mandi, suami juga siap siaga nemenin Gayatri.

Habis me-time, moodnya pasti jadi lebih baik. Siap buat cuci piring segunung lagi.

3 . Sepakat tentang mana yang prioritas dan mana yang enggak terlalu prioritas.

Skala prioritas kami untuk pekerjaan rumah adalah:

  1. Makanan harus ada dan bergizi.
  2. Sink selalu dalam keadaan kosong setelah digunakan, biar sehat.
  3. Kamar mandi kesat, biar aman, nggak mlesetin.
  4. Baju bersih.

Pekerjaan prioritas akan dikerjakan oleh siapapun yang sedang di rumah. Jadi kalau Tuan Besar yang pas di rumah maka dia yang akan masak, dst. Begitu pula kalau saya yang ada di rumah. Saat ini sih, mostly saya yang di rumah yak….

Segala hal selain keempat hal di atas dikerjakan pas super senggang aja, atau pas bisa disambi main sama bocah. Seperti nyapu halaman sambil nemenin Gayatri mainan batu. Nge-vacuum karpet pas Gayatri mainan building blocks, dll.

4 . Tahu konsekuensi, nggak perfeksionis.

Konsekuensi dari pembagian tugas laissez-faire adalah kerjaan rumah NGGAK SELALU selesai dengan perfect. Pokoknya yang penting kelar, yang penting semua jalan. Kalau ada yang kurang pas dikit, ya cincai lah.

Contoh, saya sedang belajar meal-prep. Nah, pernah tuh tauge yang rencananya mau saya tumis, dibikin bakwan dong sama suami. Karena dia pengen ngemil. Yaudin…. ikut nikmati aja, bakwannya enak ini. Nasib tumisannya, ya harus beli tauge lagi, hahaha….

setrong

Kalaupun dipaksa harus ada pembagian tugas, maka pembagian tugas kami adalah sebagai berikut:

1 . Suami ngasih vitamin A (A-PRESIASI)

Banyak perempuan merasa desperate di rumah, sebenarnya IMHO bukan karena memandang pekerjaan rumah itu sepele. Bukan. Melainkan karena pekerjaan rumah kurang diapresiasi.

Saya terlahir di keluarga yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Jadi beneran baru tahu pekerjaan rumah full ya baru dua bulan ini. Jadi kerasa banget bedanya kerjaan rumah dengan kerjaan kantor. Kerjaan kantor mah jelas kapan dikerjakan dan apa rewardnya. Lhah kalau kerjaan rumah…. Uda kaga ada habisnya, kalaupun dikerjain pun jarang ada pujiannya….

Kalau lagi PMS, rasanya tu pengen bilang, “Dengan kekuatan datang bulan, akan menghukummu”.

Oleh karena itu, jujur saya minta sama suami buat ngasih apresiasi. Terutama kalau saya masak (FYI, suami saya jago masak). Jadi sebagai ibu biasa yang gampang bahagia, diapresiasi membuat kehidupan #modyarhood jadi ada semriwing-semriwingnya gitu. Semangat 45 kembali.

2 . Istri ngasih vitamin C (cinta C-IUM)

Hahaha, seriusssss iniiii…. Dari berbagai perbincangan di grup ibu-ibu, saya menyimpulkan satu hal: para ibu kalau uda capek ngurus rumah, ngurus anak, jadi malas mesra-mesra sama suami. Pengennya langsung meluruskan punggung di kasur, cuss bobo.

Iya nggak sih? Ngakuuuuuu! Hayooo mulai sekarang jangan malas-malas ngasih vitamin C ke suaminya ya…. Cup cup mwaaahhh….

love loveYah, kira-kira seperti itu yang terjadi di rumah kami. Hehehe, mungkin nggak akan pas untuk diterapkan di rumah Nyonyah…. Tetep balik lagi ke karakter penghuninya ya…. Tapi semoga sharing kali tetap ada manfaatnya.

Ocip, akhir kata terimakasih sudah berkunjung! Salam sayang selaluuuuu….

pembagian tugas keluarga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Hamu dan Biji Bunga Matahari, Literasi Keuangan Anak

Review Shampo Zwitsal Natural, Shampo Bebas SLS dan Paraben yang Super Affordable

Review dan Pricelist/ Harga Mom n Jo Bintaro