Working Moms, Let Us Stand Against Our Guilty Feeling!
Rasa bersalah. Satu hal ini sering banget menggelayuti perasaan para ibu bekerja. Mau berangkat kerja, anak senyam senyum, “kok kaya ga sedih ya ditinggal, jangan-jangan bayiku lebih sayang Mbah Utiiii….”. #kraayyy Trus galau pengen di rumah aja. Lain waktu, saat mau berangkat kerja, anak rewel, makin galau lagi. Sampai di kantor mrebes mili di kamar mandi. Di kantor jadi ga konsen. Kerjaan ga kelar. Pulang telat. Makin tambah merasa bersalah lagi. Ujung-ujungnya, pengen resign.
Artikel ini saya buat bareng sahabat saya, sesama bloger, Faradila Putri. Triger-nya adalah obrolan di grup mamah mamah muda tentang keinginan resign seorang rekan dan pro kontranya. Hehehe, ngobrolin tentang working mom dan stay at home mom memang nggak ada habisnya yak. Yang WM pengen resign jadi SAHM, yang SAHM kangen pengen kerja lagi. Saya dan Dila pun, yaaahhh…. 11-12 mengalami hal yang sama. Saya yang WM pernah berniat resign, tapi ga jadi…. Dila, yang saat ini SAHM, pun berniat mencari pekerjaan. Baca curhatannya di Master of Science (CUMA) Ngurus Anak, Kenapa Nggak?.
Walau sempat galau, pada akhirnya sih, saya memilih untuk berhenti memandang rumput stay at home mom yang lebih hijau. Dan melihat bahwa rumput saya yang ungu dan gondrong pun bukan berarti tidak baik. Walaupun kadang canggung. Saya belajar legowo dan bangkit melawan satu parasit yang kerap menghinggapi hati saya sebagai working mom: RASA BERSALAH.
Here I am, now, mencoba mempersembahkan artikel separuh curhat ini untuk rekan-rekan seperjuangan. Bagi para working mom yang sudah mengambil keputusan sepenuh hati untuk menjadi ibu bekerja, namun hatinya kadang diliputi rasa bersalah, yuk mari belajar menikmati peran kita dengan kelegaan.
Moms, let us against our guilty feeling!
1 . Ingatlah alasan mula-mula.
Pilihan tetap bekerja setelah melahirkan, saya yakin diambil para ibu pekerja dengan alasan tertentu yang melatarbelakanginya. Entah itu 1) demi kepentingan yang lebih besar, misalnya panggilan hidup, passion atau visi. 2) Demi kepentingan keluarga, misal sebagai tulang punggung keluarga, pewaris bisnis keluarga atau demi cicilan rumah yang harus dibayar. Atau 3) untuk alasan yang lebih egois, seperti aktualisasi diri, demi kewarasan, mandiri secara finansial. Atau apapun.
Pilihanmu, yang tentunya hasil diskusi dengan pasangan, adalah pilihan yang layak diperjuangkan.
Jika di suatu hari, sebagai ibu, kita merasa bersalah karena tak selalu mendampingi bayi kita sepanjang waktu. Ingat, ada alasan yang kita miliki. Kita tidak sedang jauh dari mereka tanpa alasan. Kita lo tidak sedang main-main.
2 . Bebaskan dirimu dari idealisme orang lain.
Di artikel sebelumnya, saya pernah ngomongin tentang jalan hidup #aseeek. Dimana masing-masing orang punya kesempatan, kemampuan dan keinginan yang berbeda-beda. Saat ini saya juga pengen menekankan hal yang sama.
Biar related, artikel bisa dibaca di sini yaa…. Realistis Aja Lah!
Ibu lain mungkin memiliki kemampuan prima menjadi ibu rumah tangga. Namun, orang lain belum tentu. Bisa jadi, orang lain akan menjadi ibu yang lebih baik, saat dia memiliki kesempatan menyalurkan bakatnya di luar rumah. Atau bisa juga sebaliknya. Tak perlu lah kita pandang pergumulan hidup orang lain, mari kembali fokus pada hidup kita. Jadi saat ada yang bilang, “Kalau saya sih lebih baik, bla bla bla bla….”. Ya sudah iyakan saja. Itu kan kalau versi situ, kalau versi saya lain, sah sah saja kan.
Saya jadi ingat obrolan saya dengan mama mertua. Waktu itu saya sedang minta maaf karena (menurut saya) saya tidak melakukan pekerjaan rumah tangga dengan sempurna. Cucian saya laundry, kecuali punya bayi saya. Makan pun saya pesankan catering. Mama menjawab, “Gapopo Nduk, ndak usah terlalu risau, yang penting semua beres. Semuanya jalan.”
Makasi Mama Mertuaaaaa…. :love
Related Post: Manajemen Keluarga saat Ibu Bekerja ala Yenny Wahid
Mungkin di keluarga lain masalah mencuci pakaian sendiri adalah kewajiban. Atau makanan hangat buatan ibu adalah keharusan. Namun, jika memang di keluarga kita tidak demikian, “Tak perlulah Nyah, merasa bersalah….”
3 . Menerima good enough sebagai second best.
Poin ini sebenernya curhat terselubung. Hehehe. Saya dulu sedih banget, saat menyadari anak saya harus minum susu hasil perahan (ASIP). Hal terbaik yang saya inginkan adalah bisa menyusui Ning Gaya, bayi saya, secara langsung. Ada kualitas bonding antara ibu dan anak yang saya percaya dapat tercipta, selain daripada sekadar memberikan makan.
Namun tentu saja, hal ini nggak mungkin terjadi. Kan saya harus ngantor. Walaupun sekali dua kali saya pernah bawa bayi saya ke kantor. Tapi kan nggak mungkin juga tiap hari. Emangnya kantor punya bapak moyang eike. Kan enggak.
Menerima kenyataan bahwa kita tak selalu bisa memberikan yang terbaik adalah awal mula dari kelepasan dari rasa bersalah. Berhenti mencari pembenaran diri dan terus mencoba opsi lain sebagai second best adalah langkah terbaik. Hilangkan rasa bersalah dengan menerima si second best tadi sebagai hal yang baik juga untuk anak kita.
4 . Be a smart reader.
Jadilah pembaca dan pendengar yang bijak. Jangan suka baper. Jangan juga terlalu cepat merasa orang lain itu nyinyir. Jagalah hati dan pikiran kita sendiri. Sedikit cuek, tidak apa-apa menurut saya, hehehe….
Kadang orang nggak selalu bermaksud nyinyir sih. Pernah ada kejadian seorang teman, yang kebetulan ibu rumah tangga, komen saat ibu lain menanyakan suatu produk biskuit bayi. Tidak eksplisit menjawab pertanyaan, si Ibu tadi cerita bagaimana sebaiknya cemilan pun homemade, organik, dll, dsb. Temen saya kan jadi ngenes. Karena merasa belum mampu membuatkan cemilan sebaik itu karena waktunya yang terbatas. Saya pun.
Ibu homemade tadi tidak salah. Kadang para working mom memang harus punya “saringan” kuping tersendiri. Biar ga baper. Karena kan mungkin orang lain ga bermaksud juga buat nyindir atau nyinyiri keterbatasan kita.
Nah, kalau kita kenal ada orang-orang yang berperan sebagai “polisi parenting” dengan intensi nyinyir. Memang lebih baik jaga jarak! Sebagai ibu, para working mom memang butuh masukan dan saran atau koreksi jika ada kesalahan. Namun, working mom juga manusia, punya rasa punya hati. Jadi sebisa mungkin mending nyari senior yang bijak deh. Daripada cuma dapet rasa bersalah, alih-alih pemecahan masalah.
5 . 100% hadir saat berada di rumah.
Sebelum kembali bekerja, saya punya waktu sekitar dua bulan cuti. Dalam dua bulan tersebut, saya menjadi ibu rumah tangga sementara. Lesson learn yang saya dapatkan adalah…. 24 jam saya berada di rumah tidak selalu 24 jam itu saya bareng-bareng terus bareng bayi saya. Ada saat dia bobo, ada saat dia saya tinggal cuci baju atau masak. Tak selalu dia membutuhkan saya juga.
Namun, sekarang saat saya sebagian waktu ada di luar rumah, berarti saya harus berpikir tentang 100% hadir untuk dia saat saya ada di rumah. Menjadikan waktu saya bersamanya berkualitas.
Trust me, it works! Ketika orang bilang kalau anak bakal ga dekat dengan ibunya kalau ibunya bekerja, saya bisa bilang, tidak. Tidak jaminan. Ketika saya pulang dari bekerja, dan Gayatri menyambut saya sepenuh hati. Saya tahu bahwa hal yang sering dinyatakan orang tadi tidak benar adanya. Dan hilanglah sudah rasa bersalah itu…. :)
***
Saya tidak mau berbohong dengan bilang kalau dengan melakukan kelima hal di atas semua rasa bersalah hilang seketika. Kadang masih ada rasa haru melihat bocah saat mau berangkat kerja. Wajar sih. But it’s faaaar faaar better. Saya tak lagi bermuram durja di kantor. Tak lagi sensi pada hal-hal kecil. Tak lagi merasa badan sakit, kepala pusing tanpa alasan yang jelas. Saya bisa bercanda dan bahagia lagi. Dan yang paling penting, saya bisa menjalani peran saya dengan lebih baik tanpa rasa bersalah yang besar.
So, working moms! Let us against our guilty feelings!
Salam sayaaaaaanggg!!!
Komentar
Posting Komentar